Kamis, 23 Maret 2017

Bagaimana kita bisa bangga menisbatkan diri sebagai muslim yang beriman, tetapi kita tidak pernah merasa takut kepada Allah, air mata mengering, seolah-olah merasa aman dengan maksiat dan dosa yang ia lakukan. Beginilah ciri seorang yang beriman (mukmin) sebagaimana sabda Nabi Muhammad Shallallâhu ‘Alaihi Wasallam,
إِنَّ الْمُؤْمِنَ يَرَى ذُنُوبَهُ كَأَنَّهُ قَاعِدٌ تَحْتَ جَبَلٍ يَخَافُ أَنْ يَقَعَ عَلَيْهِ ، وَإِنَّ الْفَاجِرَ يَرَى ذُنُوبَهُ كَذُبَابٍ مَرَّ عَلَى أَنْفِهِ » . فَقَالَ بِهِ هَكَذَ
“Sesungguhnya seorang Mukmin itu melihat dosa-dosanya seolah-olah dia berada di kaki sebuah gunung, dia khawatir gunung itu akan menimpanya. Sebaliknya, orang yang durhaka melihat dosa-dosanya seperti seekor lalat yang hinggap di atas hidungnya, dia mengusirnya dengan tangannya –begini–, maka lalat itu terbang”.[HR. At-Tirmidzi, no. 2497]
Ibnu Abi Jamrah rahimahullah menjelaskan hadits,
السبب في ذلك أن قلب المؤمن منور فإذا رأى من نفسه ما يخالف ما ينور به قلبه عظم الأمر عليه والحكمة في التمثيل بالجبل أن غيره من المهلكات قد يحصل التسبب إلى النجاة منه بخلاف الجبل إذا سقط على الشخص لا ينجو منه عادة
“Sebabnya adalah, karena hati seorang Mukmin itu diberi cahaya. Apabila dia melihat pada dirinya ada sesuatu yang menyelisihi hatinya yang diberi cahaya, maka hal itu menjadi berat baginya. Hikmah perumpamaan dengan gunung yaitu apabila musibah yang menimpa manusia itu selain runtuhnya gunung, maka masih ada kemungkinan mereka selamat dari musibah-musibah itu. Lain halnya dengan gunung, jika gunung runtuh dan menimpa seseorang, umumnya dia tidak akan selamat. [Tuhfatul Ahwadzi 7/169]
Penyusun: dr. Raehanul Bahraen

Rabu, 22 Maret 2017

Diamku Adalah Cara Terbaik Untuk Menjagamu

Kau terlalu indah...
Hingga lisanku tak mampu lagi berucap kata terbaik yang bisa melukiskanmu.
Kau terlalu sempurna...
Hingga anganku tak mampu lagi untuk bermimpi lebih jauh.
Kau terlalu hebat...
Hingga langkahku terus saja tertinggal darimu, dan aku hanya mampu melihatmu dari belakang.
Kau terlalu jauh...
Itulah mengapa aku diam,
Diam dalam ruang pribadi ku, mengatakan sebuah beban, fan harap yang tertulis dalam goresan kepalaku.
Inginku sederhana... Aku ingin kau bahagia. Aku ingin kau lebih dari apa yanv kau miliki sekarang, dan aku ingin menjagamu.

Dalam setiap langkah yang kau pijak, Aku ada. Caraku menjagamu adalah dalam diamku. Karena aku tau, menjaga adalah untuk seseorang, agar Ia teatap nyaman.
Ingin sekali ada satu hembusan yang belum aku dapatkan darimu, hadir dalam hidupku. Aku ingin untuk berhak ada.
Hingga sampai dimana kamu terluka,  aku ingin menjadi pohon besar bagimu, menjadi tempat sandaranmu, teduh dan menyejukkan.
Mungkin ini adalah takdirku. Meretas kerinduanku yang tak mungkin pernah terjadi.
Memelukkmu dengan suatu kehangatan yang berbeda. Apa kau tak sadari itu...??

Tak kau lihatkah ada satu pena dalam mata yang ingin aku tuliskan dalam ingatanmu...??
Aku, akan selalu ada, dan tinggallah dalam hatiku,
Air mataku, dan dalam ingatanku...


Jumat, 10 Maret 2017

Cemburunya Allah

Mungkin rasa cemburu yang familiar di hati kita adalah rasa cemburu dalam cinta dua insan ketika ada pihak lain yang ingin menarik perhatian orang yang dicintainya. Rasa cemburu pada hakikatnya juga merupakan fitrah manusia. Akan tetapi janganlah kita memaknai cemburu semacam ini berlaku pada dzat-Nya. Karena Allah adalah Sang Pencipta. Makhluk-Nya tak pantas disejajarkan dengan semua keagungan dan kebesaran Allah azza wa jalla.
Pernahkah berfikir seperti apa cemburu yang dimiliki oleh Sang Pencipta ?
Dalam objek seperti apa Allah merasa cemburu padamu ?
Marilah simak hadits berikut ini..
إِنَّ اللَّهَ يَغَارُ، وَغَيْرَةُ اللَّهِ أَنْ يَأْتِيَ المُؤْمِنُ مَا حَرَّمَ اللَّهُ
“Sesungguhnya Allah merasa cemburu. Dan seorang mukmin pun merasa cemburu. Adapun kecemburuan Allah itu akan bangkit tatkala seorang mukmin melakukan sesuatu yang Allah haramkan atasnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Kecemburuan Allah atas setiap dosa yang dilakukan oleh hamba-Nya. Kecemburuan ketika makhluk Nya melanggar batasan yang telah ditetapkan.
أَلاَ وَإِنَّ لِكُلِّ مَلِكٍ حِمًى، أَلاَ إِنَّ حِمَى اللَّهِ فِي أَرْضِهِ مَحَارِمُهُ
Ketahuilah, setiap raja memiliki tanah larangan dan tanah larangan Allah di bumi ini adalah perkara-perkara yang diharamkan-Nya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Patutlah kita merenungkan bahwa setiap apa yang terlarang dan diharamkan di atas bumi ini adalah untuk kebaikan manusia. Meskipun tak semua larangan dapat dimaknai dengan akal dan pikiran kita yang terbatas ini. Dosa-dosa itu memiliki efek yang besar dan fatalannya bisa membawa seseorang pada kefuturan jika terlalu sering menerjang perkara yang diharamkan.
Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “(efek negatif dosa) yang paling berbahaya (paling mengkhawatirkan) bagi seorang hamba adalah dosa dan kemaksiatan bisa melemahkan keinginan hati sehingga keinginannya untuk melakukan perbuatan maksiat semakin kuat. Dosa melemahkan keinginan hati untuk bertaubat sedikit demi sedikit sampai akhirnya semua keinginan untuk taubat tercabut dari hati (tanpa meninggalkan sisa sedikit pun). (Padahal) seandainya separuh dari hati seseorang itu sudah mati, maka itu sudah susah untuk bertaubat kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala (Ibnu Qayim Al-Jauziyah, Adda’ wa Dawa’, (Dar Ibnu Jauzi,1427) hlm. 91)
Dosa dan kemaksiatan itu jika menjadi suatu kebiasaan akan membuat seseorang sulit bertaubat. Semakin tertutup hati seorang hamba maka akan semakin sulit untuk kembali dan bertaubat kepada Allah. Hendaknya setiap insan menyadari mengapa Allah demikian cemburu pada perbuatan dosa yang dilakukan hamba-Nya. Karena dosa-dosa tersebut membuat kita akan jauh dari Allah.
Saudariku jauhilah setiap perkara yang diharamkan Allah, karena dengannya Allah akan cemburu padamu. Takutlah kita terhadap adzab dan murka Allah yang bisa saja menimpamu sewaktu-waktu. Terlebih lagi takutlah pada kekalnya adzab neraka Jahannam.
Jangan lupakan doa ini dalam permohonan kita kepada-Nya,
اللَّهُمَّ إِنِّى أَسْأَلُكَ فِعْلَ الْخَيْرَاتِ وَتَرْكَ الْمُنْكَرَاتِ وَحُبَّ الْمَسَاكِينِ وَأَنْ تَغْفِرَ لِى وَتَرْحَمَنِى وَإِذَا أَرَدْتَ فِتْنَةَ قَوْمٍ فَتَوَفَّنِى غَيْرَ مَفْتُونٍ أَسْأَلُكَ حُبَّكَ وَحُبَّ مَنْ يُحِبُّكَ وَحُبَّ عَمَلٍ يُقَرِّبُ إِلَى حُبِّكَ
Allahumma inni as-aluka fi’lal khoiroot wa tarkal munkaroot wa hubbal masaakiin, wa an taghfirolii wa tarhamanii, wa idza arodta fitnata qowmin fatawaffanii ghoiro maftuunin. As-aluka hubbak wa hubba maa yuhibbuk wa hubba ‘amalan yuqorribu ilaa hubbik
(Ya Allah, aku memohon kepada-Mu untuk mudah melakukan kebaikan dan meninggalkan kemungkaran serta aku memohon pada-Mu supaya bisa mencintai orang miskin, ampunilah (dosa-dosa)ku, rahmatilah saya, jika Engkau menginginkan untuk menguji suatu kaum maka wafatkanlah saya dalam keadaan tidak terfitnah. Saya memohon agar dapat mencintai-Mu, mencintai orang-orang yang mencintai-Mu dan mencintai amal yang dapat mendekatkan diriku kepada cinta-Mu)”. (HR. Tirmidzi)
Wallahu ‘alam
Hati Orang yang Suka Membaca Al-Qur’an Selalu Merasa Senang
‘Abdullah bin ‘Umar bercerita, “Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak ada (rasa) hasad kecuali kepada dua orang, yaitu orang yang diberi al-Kitab oleh Allah sedang dia membacanya di tengah malam dan siang hari, dan orang yang diberi harta oleh Allah sedang dia menyedekahkannya di tengah malam dan di siang hari.” (HR. al-Bukhari).
Kemudian Al-Bukhari meriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ حَسَدَ إِلاَّ فِي اثْنَتَيْنِ رَجُلٌ عَلَّمَهُ اللَّهُ الْقُرْآنَ فَهُوَ يَتْلُوهُ آنَاءَ اللَّيْلِ وَآنَاءَ النَّهَارِ فَسَمِعَهُ جَارٌ لَهُ فَقَالَ لَيْتَنِي أُوتِيتُ مِثْلَ مَا أُوتِيَ فُلاَنٌ فَعَمِلْتُ مِثْلَ مَا يَعْمَلُ، وَرَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ مَالاً فَهْوَ يُهْلِكُهُ فِي الْحَقِّ فَقَالَ رَجُلٌ لَيْتَنِي أُوتِيتُ مِثْلَ مَا أُوتِيَ فُلاَنٌ فَعَمِلْتُ مِثْلَ مَا يَعْمَلُ
“Tidak ada hasad kecuali kepada dua orang, yaitu orang yang diajari Al-Qur’an oleh Allah lalu dia membacanya di tengah malam dan siang hari, kemudian tetangganya mendengarnya dan berkata, ‘Seandainya aku diberi apa yang diberikan kepada si fulan, niscaya aku akan melakukan seperti apa yang dikerjakannya.’ Dan orang yang diberi kekayaan oleh Allah, lalu dia mengalokasikannya dalam kebenaran, kemudian ada orang berkata, ‘Seandainya aku diberi seperti apa yang diberikan kepada si fulan itu, niscaya aku akan melakukan seperti apa yang dilakukannya.’”
Kandungan kedua hadits di atas bahwa orang yang suka membaca al-Qur’an selalu merasa senang, yaitu dalam keadaan baik, karenanya dia harus berusaha mempertahankan apa yang ada padanya.
Disebut ghibthah (bukan hasad) jika seseorang mengharapkan nikmat seperti yang dirasakan dua orang tersebut. Hal tersebut jelas berbeda dengan sifat iri (hasad) yang tercela, yaitu mengharapkan hilangnya nikmat dari orang yang menjadi obyek hasadnya tersebut, baik orang tersebut memperoleh nikmat tersebut maupun tidak. Menurut syari’at, hal itu sangat tercela dan merusak. Dan itulah kedurhakaan pertama kali yang dilakukan oleh iblis, yaitu ketika dia iri kepada Adam ‘alaihissalam atas apa yang dikaruniakan Allah kepadanya, baik itu berupa kemuliaan, penghormatan, maupun pengagungan. Sedangkan iri yang disyari’atkan dan terpuji adalah iri yang tetap menginginkan langgengnya keadaan yang membahagiakan.
Abu Kabsyah al-Anmari berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مثلُ هذه الأُمَّةِ كمثلِ أربعةِ نفرٍ رجلٌ آتاهُ اللهُ مالًا وعلمًا فهو يعملُ بعلمِه في مالِه يُنفقُه في حقِّهِ ورجلٌ آتاه اللهُ علمًا ولم يُؤْتِه مالًا فهو يقولُ لو كان لي مثلَ هذا عملتُ فيه مثلَ الذي يعملُ قال رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليْهِ وسلَّمَ فهما في الأجرِ سواءٌ ورجلٌ آتاه اللهُ مالًا ولم يُؤْتِه علمًا فهو يخبطُ في مالِه يُنفقُه في غيرِ حقِّهِ ورجلٌ لم يُؤْتِه اللهُ علمًا ولا مالًا فهو يقولُ لو كان لي مثلَ هذا عملتُ فيه مثلَ الذي يعملُ قال رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليْهِ وسلَّمَ فهما في الوِزْرِ سواءٌ .
“Perumpaan umat ini adalah seperti empat orang, yaitu seseorang yang diberi kekayaan dan ilmu oleh Allah, lalu dia mengamalkannya dan pada kekayaannya dia menginfakkannya kepada yang berhak. Dan seseorang yang diberi ilmu oleh Allah tetapi ia tidak diberi kekayaan, lalu ia berkata, ‘Seandainya aku memiliki harta seperti ini, niscaya aku akan memanfaatkannya seperti yang dilakukan oleh orang itu.’ Rasulullah berkata, ‘Keduanya sama dalam penerimaan pahala.’ Serta seseorang yang diberi kekayaan oleh Allah tetapi ia tidak diberi ilmu oleh-Nya, lalu dia menghamburkan dan membelanjakan tidak pada haknya. Dan seseorang yang tidak diberi kekayaan dan (tidak) juga ilmu oleh Allah sedang dia mengatakan, ‘Seandainya aku memiliki kekayaan seperti orang itu, niscaya aku akan melakukan seperti yang dia lakukan.’ Rasulullah berkata, ‘Maka keduanya sama dalam hal dosanya.’” (Sanadnya shahih)
Walillahil hamdu wal minnah.
Bagaimana kita bisa bangga menisbatkan diri sebagai muslim yang beriman, tetapi kita tidak pernah merasa takut kepada Allah, air mata mengering, seolah-olah merasa aman dengan maksiat dan dosa yang ia lakukan. Beginilah ciri seorang yang beriman (mukmin) sebagaimana sabda Nabi Muhammad Shallallâhu ‘Alaihi Wasallam,
إِنَّ الْمُؤْمِنَ يَرَى ذُنُوبَهُ كَأَنَّهُ قَاعِدٌ تَحْتَ جَبَلٍ يَخَافُ أَنْ يَقَعَ عَلَيْهِ ، وَإِنَّ الْفَاجِرَ يَرَى ذُنُوبَهُ كَذُبَابٍ مَرَّ عَلَى أَنْفِهِ » . فَقَالَ بِهِ هَكَذَ
“Sesungguhnya seorang Mukmin itu melihat dosa-dosanya seolah-olah dia berada di kaki sebuah gunung, dia khawatir gunung itu akan menimpanya. Sebaliknya, orang yang durhaka melihat dosa-dosanya seperti seekor lalat yang hinggap di atas hidungnya, dia mengusirnya dengan tangannya –begini–, maka lalat itu terbang”.[HR. At-Tirmidzi, no. 2497]
Ibnu Abi Jamrah rahimahullah menjelaskan hadits,
السبب في ذلك أن قلب المؤمن منور فإذا رأى من نفسه ما يخالف ما ينور به قلبه عظم الأمر عليه والحكمة في التمثيل بالجبل أن غيره من المهلكات قد يحصل التسبب إلى النجاة منه بخلاف الجبل إذا سقط على الشخص لا ينجو منه عادة
“Sebabnya adalah, karena hati seorang Mukmin itu diberi cahaya. Apabila dia melihat pada dirinya ada sesuatu yang menyelisihi hatinya yang diberi cahaya, maka hal itu menjadi berat baginya. Hikmah perumpamaan dengan gunung yaitu apabila musibah yang menimpa manusia itu selain runtuhnya gunung, maka masih ada kemungkinan mereka selamat dari musibah-musibah itu. Lain halnya dengan gunung, jika gunung runtuh dan menimpa seseorang, umumnya dia tidak akan selamat. [Tuhfatul Ahwadzi 7/169]
Penyusun: dr. Raehanul Bahraen

Sabtu, 12 November 2016

Berhentilah Bertanya Pada si Dia Yang Masih Sendiri



Jodoh, rezeki, maut, adalah rahasia Tuhan. Kita sebagai manusia hanya bisa melakukan yang terbaik yang kita bisa. Berusaha dan berdoa, dan sisinya serahkan pada Allah. Karena itu adalah hal yang mustahil diketahui oleh manusia.
Kita boleh merencanakan apapun. Yah,,, apapun. Tapi tidak dengan hasilnya. Karena sebaik-baik perencana adalah Allah azza wajalla.
Sama dengan jodoh. Kita tidak tahu siapa jodoh kita, dimana, sedang apa, dan bahkan namanya pun kita tidak tahu, bukan?
Maka dari itu, berhentilah bertanya pada dia yang masih sendiri. Pada dia yang belum dipertemukan dengan seseorang yang ia impikan. Berhentilah bertanya “kapan nikah?”,
Haah,,, pertanyaan macam apa itu? Tolong hentikan. Kau membuatnya patah hati, kau membuat dadanya semakin sesak dengan pertanyaan itu, kau membuat rerintik hujan jatuh dari sudut matanya. Sudah,.,,,, ku mohon, tolong hentikan. Tak usah bertanya lagi. Karena semakin sering kau bertanya, perasaannya akan semakin kalut, karena ia pun tidak tahu, kapan seseorang itu akan datang dan memintanya dengan tulus kepada walinya. Ia tidak tahu sama sekali. Jadi, berhentilah.
Bagaimana jika ada seseorang yang bertanya padamu “kapan kau akan menemui ajalmu..?” apa reaksimu???? Kau akan marah? Sakit hati? Menyumpah serapah dia yang bertanya? Apaa,,,??? Heiiii,,,, kenapa cuma diam..? aku ini sedang bertanya.
Ohh,,, aku yakin, kau akan marah habis-habisan. Tidak terima ada orang lain yang bertanya demikian, bukan??
Lantas apa bedanya dengan kau bertanya pada si dia yang masih sendiri? Pada dia yang masih dengan sabarnya menanti sang pangeran datang untuk menyempurnakan dien nya? Pada dia yang setiap malam selalu menangis di sujud-sujud panjang malamnya, kemudian berdo’a pada Allah dengan suara parau? Dia tidak tahu, kapan ia akan mengakhiri kesendiriannya, akan ada seseorang yang akan menyudahi penantiannya, dan kapan akan ada seseorang yang dengan tulus mengusap air matanya. Tidak. Tidak sama sekali. Karena itu adalah kuasa Allah. Jadi, berhentilah bertanya.
Bahkan, Allah sudah menjelaskan di dalam Al-Qur’an, bahwa setiap manusia sudah diciptakan berpasang-pasangan, dalam surat Ar-Rum ayat 21 yang artinya:
“Dan diantara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan diantara kamu rasa kasih dan saying. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (Kebesaran)-Nya bagi kaum yang berfikir”
Sudah jelas bukan,  semua makhluk sudah diciptakan berpasang-pasangan. Hanya saja, kita tidak tahu kapan, dimana, dan dengan siapa. Jadi,,,, berhentilah bertanya pada dia yang masih sendiri ya.

Kamis, 10 November 2016

Ukhti

Ukhti...
Kau dilahirkan bukan sebagai penggoda yang melalaikan dunia. Berfikir untuk menjadi insan yang berguna jauh lebih baik. Agar seisi dunia bisa merasakan rahmat kehadiranmu. Baluti tubuhmu dengan iman, karena ia sangat manis pada pandangan jua perhiasan.
Tak perlu risau, lalu menyolek diri. Karena menginginkan wajah yang lebih indah. Berfikir, bersyukur dan berbahagialah dengan apa yang telah ditakdirkan oleh Allah swt. Renungi dan resapilah kekaguman serta kekuatan keyakinan, bahwa setiap detik dibawah naungan-Nya.
Jika ada yang merendahkanmu,
Katakan:
"Jatuh bangun diriku tidak sendiri. Karena aku bersandar hanya pada Allah. Walau manusia memandangku hina, ridha dan rahmat Allah lah ku yakini, yang kuharapkan, dan yang ku dambakan".